07/01/10

Konstruksi Rapuh, Praktik Nakal Kontraktor

Liputan6.com, Jakarta: Duka segera menyeruak tatkala mengetahui keluarga harus tewas tertimpa bangunan yang roboh di Pusat Grosir Metro Tanahabang, akhir Desember silam. Kejadian nahas itu memakan empat korban jiwa yang ditemukan tewas di antara puing-puing bangunan.

Hingga kini, Polda Metro Jaya masih melakukan penyelidikan kasus runtuhnya bangunan tambahan gedung Metro Tanahabang itu. Sejumlah saksi pun telah diperiksa termasuk pekerja dan kontraktor proyek ini. Kendati bangunan itu sudah dirobohkan seluruhnya, tetapi hal ini masih menyisakan pertanyaan. Apakah kasus ini terjadi lantaran hanya karena legalitas surat Izin Mendirikan Bangunan atau memang ada faktor lain termasuk kesalahan manusia?

Seorang pekerja mengaku sudah melihat retak-retak di bangunan toilet yang sedang dibangun. Namun, pihak kontraktor tidak menggubris hingga terjadilah peristiwa nahas itu [baca: Belasan Korban Cedera Dirawat di Tiga RS].

Di lain pihak, kedatangan jenazah salah satu korban jiwa dari kejadian nahas ini yang bernama Alfa Fikri di kampung halamannya di Pati Jawa Tengah, membuat keluarga Fikri menangis histeris. Menurut keluarga almarhum, baru 10 hari Fikri mengadu nasib di Jakarta. Keluarga tak menyangka jika maut yang menjadi jawaban.

Ya, Fikri adalah salah satu dari empat korban yang tewas akibat runtuhnya gedung tanpa IMB itu. IMB menjadi syarat administratif lantaran desain struktur dan kelayakan bangunan ada di dalam syarat pengajuan IMB. Untuk wilayah Ibu Kota, biaya yang dikeluarkan untuk sebuah surat mendirikan bangunan adalah Rp 1 juta. Proses ini dinilai berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lama, sekitar dua sampai tiga pekan. Maka dari itu, hal ini dimanfaatkan beberapa oknum untuk memberikan jasa pengurusan IMB yang tentu saja dengan biaya yang berlipat ganda.

Walau IMB dinilai memegang peranan penting, pada praktiknya surat ini hanya menjadi syarat administratif mendirikan sebuah bangunan. Karena ternyata, kualitas bangunan yang memiliki standar berada di tangan kontraktor pelaksana proyek. Pengakuan seorang mandor kepada Tim Sigi membuktikan masih seringnya terjadi manipulasi konstruksi agar mendapat keuntungan maksimal.

Selain praktik curang yang dilakukan para pelaksana proyek, unsur sabotase kadang juga kerap terjadi. Hal ini terjadi lantaran adanya persaingan antara pemborong dan mandor proyek yang sering mengorbankan spesifikasi bangunan yang direncanakan. Jika hal ini terus berlanjut, tak pelak kasus robohnya bangunan seperti yang terjadi pada gedugn Metro Tanah Abang bakal terus berlanjut. Pengawasan nampaknya memegang peranan yang sangat penting.

Tanah Air mengakhiri 2009 dengan kasus robohnya bangunan, sementara Uni Emirat Arab membuka 2010 dengan meresmikan gedung tertinggi di dunia. Kilauan kembang api menandakan berdirinya gedung Burj Khalifa di Dubai, kota yang dianggap Las Vegas Timur Tengah. Jika dibandingkan dengan Monumen Nasional di Jakarta, gedung dengan tinggi 828 meter itu adalah enam kalinya Monas.

Ya, konstruksi adalah hal yang terpenting dalam pendirian gedung seperti Burj Khalifa. Indonesia pun tak mau kalah. Geliat konstruksi bergerak cepat di berbagai kota dengan dibangunnya gedung-gedung tinggi. Tetapi, dengan seringnya fenomena alam Gempa Bumi di Indonesia, masalah konstruksi bangunan nampaknya menjadi perhatian penting.

Kendati demikian, ada yang menarik jika lebih diperhatikan. Bangunan yang runtuh di Tanah Air terjadi bukan karena Gempa Bumi atau pun bencana alam lainnya. Melainkan lantaran adanya perilaku kontraktor nakal yang meminimalkan biaya hingga mengorbankan faktor keamanan. Dapat ditarik kesimpulan jika komitmen semua pihak untuk menaati peraturan dalam proses pembangunan gedung sangat dibutuhkan. Karena kesalahan satu faktor, dapat berakibat fatal.

www.liputan6.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar